Eksotisme Gabus Pucung
Anda penyuka masakan rawon dari Jawa Timur atau brongkos dari Yogyakarta? Barangkali anda juga akan menyukai Gabus Pucung, makanan khas Betawi yang sudah semakin langka. Ketiga jenis masakan tersebut mempunyai satu persamaan, yakni sama-sama menggunakan biji kluwak dalam racikan bumbunya.
Biji kluwak atau pucung inilah yang akan menghasilkan kuah gurih berwarna hitam pekat yang menjadi ciri khas ketiga masakan tersebut. Gabus Pucung agak berbeda karena menggunakan bahan utama ikan gabus (di Jawa biasa disebut iwak kutuk), bukan daging sapi seperti pada rawon atau brongkos.
Memasak Gabus Pucung memang butuh ketelatenan. Beberapa tahapan harus dilalui, dari membersihkan dan memotong-motong ikan gabus, menggorengnya setengah matang, meracik bumbu, hingga proses pemasakan. Semuanya harus dilakukan dengan cermat untuk menghasilkan citarasa masakan yang terbaik. Ikan gabus biasanya digoreng lebih dulu agar tidak mudah hancur ketika dimasak di dalam kuah pucung.
Bumbu yang digunakan antara lain bawang merah, bawang putih, kemiri, cabe merah, jahe, kunyit, dan daun salam. Bumbu tersebut dihaluskan kemudian ditumis hingga harum. Tak lupa, ditambahkan kluwak yang telah dihancurkan dan diambil isinya. Selanjutnya bumbu tumis dimasukkan ke dalam panci berisi air dan direbus hingga mendidih menjadi kuah pucung.
Langkah terakhir adalah memasukkan ikan gabus yang telah digoreng ke dalam kuah pucung dan masak hingga bumbu meresap. Gabus Pucung bercitarasa gurih dengan aroma wangi yang khas. Kuahnya yang hitam memberi kesan eksotis. Masakan ini paling nikmat disantap ketika masih hangat ditemani aneka lalapan seperti pete, mentimun, ataupun kacang panjang. Bila suka pedas, Gabus Pucung juga cocok disantap dengan sambal terasi atau sambal goreng.
Makanan Tradisional yang Makin Terpinggirkan
Sayang sekali kini tak begitu mudah mencari tempat yang menjajakan makanan kegemaran masyarakat Betawi ini di Jakarta. Penyebabnya beragam, baik dari segi perubahan ekologis maupun sosial ekonomi masyarakat. Kendala yang tampak nyata adalah minimnya ketersediaan ikan gabus sebagai bahan utamanya. Ikan liar yang biasa hidup di sungai dan rawa ini semakin sulit ditemukan seiring dengan kerusakan habitat. Penyebabnya tak lain adalah pencemaran ataupun alih fungsi lahan yang masif.
Untuk menyiasatinya, warung makan yang menjajakan menu Gabus Pucung terpaksa harus mendatangkan ikan gabus dari luar kota, meski jumlahnya pun tetap terbatas. Demi memuaskan hasrat bersantap sajian langka ini, penggemarnya pun tak jarang harus mencari ke pelosok Depok, Bekasi, dan Bogor.
Bahan baku ikan gabus untuk Gabus Pucung tak bisa digantikan dengan jenis ikan lain. Ini karena ikan gabus memiliki beberapa kelebihan seperti: dagingnya yang lebih padat, duri yang sedikit, dan rasa yang lebih gurih dibandingkan ikan lain. Selain itu, ikan gabus juga diyakini mempunyai manfaat kesehatan karena kandungan nutrisinya yang cukup tinggi, Kalaupun diganti dengan ikan jenis lain, kenikmatan masakan ini akan jauh berkurang.
Pergeseran selera masyarakat dan pertumbuhan pesat industri kuliner modern di ibukota juga turut memperlemah eksistensi makanan tradisonal, termasuk Gabus Pucung. Dengan alasan kepraktisan, kini orang akan lebih memilih bersantap di warteg atau restoran cepat saji. Kaum mudanya pun lebih akrab dengan aneka makanan manca negara, entah karena alasan prestise atau memang selera.
Tak bisa dipungkiri bahwa Jakarta merupakan miniatur Indonesia. Orang dari berbagai etnis dan latar belakang budaya ada disini dan jumlahnya terus bertambah. Sebagai konsekuensinya, selera kuliner masyarakat menjadi semakin beragam, dipengaruhi oleh tradisi kuliner dari berbagai daerah di Indonesia. Sejalan dengan bertumbuhnya industri kuliner, persaingan pun makin ketat. Siapa yang bisa memuaskan selera konsumen, merekalah yang akan bertahan.
Masih beruntung beberapa kuliner tradisional Betawi masih mendapat panggung di acara-acara khusus semacam Pekan Raya Jakarta maupun festival-festival kuliner daerah. Meski itupun seringkali masih tidak cukup mengangkat popularitas makanan tradisional di tengah keseharian hidup masyarakat Jakarta.
Oktober 2013