Seorang wanita sepuh duduk di balik panci-panci besar sambil melayani orang-orang yang terlihat sudah tak sabar ingin mencicipi salah satu gudeg legendaris di Yogyakarta ini. Tangannya yang kurus dan renta masih terlihat luwes meracik nasi gudeg pesanan pelanggannya. Gudeg, telur, ayam, tahu, tempe, sambal goreng krecek, satu per satu ia tata langsung dengan tangannya sesuai pesanan di atas sepincuk nasi. Sebenarnya agak kurang pas juga kalau disebut warung karena Mbah Lindu hanya menggelar dagangannya di sebuah meja besar, disertai beberapa bangku kayu dan plastik yang tak akan muat menampung pengunjung saat sedang ramai. Jika sudah begitu, beberapa dari mereka harus rela makan dengan berdiri atau mencari tempat lain untuk sekedar duduk sambil menikmati gudeg Mbah Lindu.
Itulah pemandangan yang lazim ditemui di warung gudeg Mbah Lindu yang berlokasi di Jl. Sosrowijayan. Ia mulai membuka warung gudegnya dari jam 5 hingga 10 pagi dengan dibantu anak perempuannya. Dalam usianya yang sudah hampir satu abad, Mbah Lindu masih setia melakoni profesinya sebagai penjual gudeg. Mbah Lindu sendiri mengaku ia mulai berjualan sejak sebelum penjajahan Jepang. Bisa dibayangkan seberapa besar energi dan cinta yang ia curahkan pada pekerjaannya hingga bisa bertahan begitu lama. Tidak hanya menjual, Mbah Lindu bahkan masih terjun langsung di dapur untuk mengolah atau setidaknya memastikan semua masakan yang diolah sudah sesuai dengan pakem yang ia tentukan. Di saat orang lain terlelap dalam tidurnya, Mbah Lindu biasanya sudah sibuk di dapur sejak jam 1 pagi.
Asap mengepul dari dapur yang masih sangat tradisional itu. Jika tak terbiasa, mata akan mudah terasa pedih. Gudeg dan lauk pelengkap lainnya dimasak di atas tungku dengan bahan bakar kayu. Barangkali ini pula yang menjadikan masakan Mbah Lindu terasa lebih sedap. Ada beberapa cerita menarik, terutama setelah gudeg Mbah Lindu makin banyak dikenal beberapa tahun terakhir hingga turis asing pun ikut dibuat penasaran. Orang yang pertama kali membeli kadang merasa risih setelah melihat cara Mbah Lindu meracik gudeg langsung dengan tangannya tanpa memakai sendok. Namun rasa risih itu pudar setelah mereka mencicipi langsung masakannya. Citarasa gudeg Mbah Lindu agaknya membuat perkara higienitas dan tetek bengek lainnya tidak lagi terlalu penting.
Konon orang yang sebelumnya tidak bisa makan gudeg bisa berubah pikiran setelah mencoba gudeg Mbah Lindu. Barangkali komposisinya yang lebih seimbang antara manis dari gudeg, gurih dari areh, dan pedas dari sambal goreng krecek lebih cocok untuk mereka yang tidak terlalu suka makanan manis. Jika suka pedas, tinggal minta ekstra cabai rawit hijau sebagai pelengkap karena Mbah Lindu tidak menyediakan sambal. Penyajiannya yang menggunakan pincuk atau alas daun pisang tidak hanya memberi nuansa tradisional yang kental, tapi aroma khas daun itu juga bisa membangkitkan nafsu makan. Selain nasi gudeg, Mbah Lindu juga menyediakan menu bubur gudeg. Bagi yang belum tahu mungkin terdengar aneh, tapi percayalah perpaduan antara bubur yang gurih dan gudeg adalah salah satu menu sarapan terbaik yang bisa dijumpai di Yogyakarta.
Kabarnya kini Mbah Lindu lebih banyak tinggal di rumah, entah karena sakit atau kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan, dan anak perempuannya yang menggantikannya untuk berjualan. Hal yang wajar mengingat usianya yang sudah hampir satu abad. Meski begitu, semoga Mbah Lindu tetap dikaruniai kesehatan dan umur panjang. Dedikasi dan semangat yang ia tunjukkan adalah teladan ibagi orang-orang yang lebih muda. Selamat hayat masih dikandung badan, tak ada kata menyerah untuk terus bekerja dan berkarya. Di sisi lain, falsafah hidup Mbah Lindu yang senantiasa nrimo atau bersyukur atas apa Yang Kuasa berikan padanya, banyak maupun sedikit, juga mengingatkan kita untuk selalu bersikap positif dan tidak berlebihan dalam menjalani hidup.
Kebetulan dari lahir sampai gedhe tinggal di jogja dan kebetulan juga memang tinggal di dekat daerah jl. Sosrowijayan tempat dimana mbah lindu berjualan Gudeg. Mbah lindu jualan sejak lama, sedari hotel paling besar di sosrowijayan yaitu Hotel asiatic yg sekarang jadi hotel summer quest hingga sekarang ini. Hingga akhirnya masuk dalam acara hitam putih. Dulu masyarakat sekitar kalau menu sarapan Gudeg mbah lindu merupakan menu istimewa