Di tengah geliat modernisasi kota, Yogyakarta tak pernah sepenuhnya kehilangan kebersahajaannya. Bertumbuhnya pusat-pusat hiburan dan kuliner baru yang dikemas secara modern tak lantas membuat orang meninggalkan romantisme nuansa tradisional khas Kota Pelajar ini. Eksistensi warung-warung tradisional semacam Angkringan tetap terpelihara, tidak hanya sebagai tempat melepas lapar dan dahaga, tapi juga sebagai sarana interaksi sosial yang menyenangkan. Tak ada sekat sosial disana.
Orang dari berbagai profesi, suku, agama bisa bebas mengobrol tentang apapun, dari hal remeh temeh sampai isu politik paling mutakhir, dalam suasana santai penuh keakraban. Angkringan sendiri berasal dari kata “Angkring”, yang artinya kurang lebih “duduk santai”. Warung yang dulunya hanya identik dengan masyarakat lapisan bawah kini telah menjelma menjadi oase bagi segala manusia dengan berbagai latar belakang, untuk sejenak melarikan diri dari rutinitas hidup yang penuh tekanan dan tak jarang menjemukan.
Angkringan seolah sudah menjadi ikon Yogyakarta, meskipun di Solo kita juga akan banyak menemukan warung serupa dengan sebutan Wedangan atau HIK (Hidangan Istimewa Kampung). Namun tidak banyak yang tahu bahwa yang memulai usaha Angkringan di Yogyakarta justru seorang pendatang dari Klaten. Pada tahun 1950-an, Mbah Pairo yang asli Cawas, Klaten mengadu nasib ke Yogyakarta karena situasi di kampung halaman saat itu kurang bisa diandalkan untuk menyambung hidup. Mbah Pairo pun mulai berdagang aneka makanan kecil dan minuman dengan menggunakan pikulan di sekitar Stasiun Tugu.
Saat itu Angkringan lebih dikenal dengan sebutan “ting-ting hik”, diambil dari suara teriakan si penjual ketika menjajakan dagangannya. Sebutan HIK inilah yang masih populer digunakan di Solo hingga sekarang. Di sekitar tahun 1969, Mbah Pairo lantas mewariskan usaha Angkringan ini pada putranya, Lik Man. Setelah sempat beberapa kali berpindah tempat, Angkringan yang dikelola Lik Man akhirnya mendapat lokasi tetap di jalan kecil samping Stasiun Tugu. Angkringan Lik Man masih bertahan hingga saat ini dan lebih dikenal dengan produk minuman uniknya, yakni Kopi Joss.
Angkringan biasanya hanya berupa gerobak dorong yang ditutupi dengan terpal dan beberapa bangku kayu untuk menampung pembeli. Tetapi ada juga yang mempertahankan gaya lama dengan menggunakan pikulan sebagai wadah aneka makanan dan minuman, seperti yang terlihat di Angkringan Lik Man dekat Stasiun Tugu. Ciri khas lain dari Angkringan adalah cahaya remang-remang yang berasal dari lampu minyak. Soal menu bisa beragam, tapi tentunya ada satu yang wajib tersedia, yakni Nasi Kucing. Nasi porsi kecil yang dibungkus seukuran kepalan tangan orang dewasa inilah yang sering menjadi penyelamat bagi mahasiswa berkantong cekak. Di dalam Nasi Kucing biasanya disertakan sedikit lauk, seperti potongan kecil bandeng, oseng tempe, atau teri sambal.
Setelah era Mbah Pairo, Angkringan menjadi makin dikenal masyarakat Yogya dan penjualnya bertambah banyak. Hampir di tiap sudut kota Yogyakarta, bahkan hingga pelosok perkampungan kita bisa mudah menemukannya. Angkringan kini juga mulai banyak bermunculan di kota-kota lain dan perkembangannya pun tak luput dari sentuhan teknologi. Di beberapa tempat bisa ditemui Angkringan yang menyediakan fasilitas internet. Tersirat pesan: yang tradisional dan yang modern tak harus selalu saling bertentangan.
Berikut adalah daftar beberapa Angkringan yang cukup terkenal di Yogyakarta:
- Angkringan Lik Man Stasiun Tugu
- Angkringan Kali Code
- Angkringan KR
- Angkringan Stadion Mandala
- Angkringan Pak Min depan GOR UNY (siang)
(Foto: www.angkringan.info)
Juni 2013